Rabu, 07 Maret 2012


Oretachi no jii-chan
pengalamanku ketika kakekku stroeke
 
Chapter 2 Pria Gagah yang Membawa Sebotol Uang Receh
               
 Di kasur itu dia terbaring.. diam dengan nafas terengah-engah. Kami mengintipnya dari balik pintu dengan perasaan tak menentu. Aku bertanya pada ayahku setelah melampiaskan rindu sejenak “gimana bapung, yah?” pria berkaca mata itu menghela nafas sejenak “yah, sekarang sudah lebih baik...” jawabnya kemudian. ‘Lebih baik’ kalau kata-kata itu memang berarti sebagaimana artinya maka sebelumnya jauh, jauh lebih mengenaskan. Aku menyuruh adik-adikku yang menghalangi pintu untuk masuk, “sana sapa bapung!” seruku pada mereka. Merekapun masuk bergantian. Namun setelahnya keheningan terjadi, iini tak seperti hari dimana kakek dan nenekku datang berkunjung biasanya, yang selalu dipenuhi canda dan tawa, keisengan pria tua itu selalu membahana di rumah ini saat itu. Hari ini berbeda, segila apapun dan seganas apapun makhluk-makhluk kecil yang kusebut  ‘adikku’ itu, mereka tetap anak-anak yang perasaanya begitu halus, aura kepedihan yang terpancar dari sang kakek dan rasa iba terasa di kulit mereka, mereka ikut merasakan kesakitan sang kakek.
                Ilma, adik keduaku memberanikan diri membuka pertanyaan. “bapung gimana kabarnya?”  pria tua lemah itu terdiam sejenak, ingin, dia ingin menjawab, namun begitu kepayahan dalam berkata-kata. “.....” dia menjawab, menjawab dengan segenap kemampuannya, namun begitu sulit dimengerti, kami berlima tak ada yang mengerti gerendengannya itu. Tak menyerah dia mengatakannya lagi dan sama tidak jelasnya seperti tadi. “oh... iya iya..” ucapku meski masih tak paham, setidaknya itu yang bisa aku lakukan agar tak perlu mendengar penderitaanya. Begitu, inilah alasan mengapa ibuku menolak menelpon kami dan jarang sekali membiarkan kami berbicara dengan bapung. Dia bilang jika ibuku menelpon, kakek akan menangis, meratap dengan kata-katanya yang tak dapat dipahami, dan percayalah mendengarnya akan membuat hati kita lebih tersayat.
 Bulir-bulir air mata mulai berjatuhan di pipi Bima, meski laki-laki dialah yang paling sensitif diantara kami, begitu pula dengan Ilma, si galak yang cengeng ini mungkin menyesal telah bertanya. Sementara adik bungsuku Gyna yang masih balita malah pergi bermain, yah itu lebih baik, mungkin  atmosfer kamar ini terlalu berat untuk anak seusianya. “capek, ya pung? Udah sekarang istirahat ya.” Kataku lembut, aku mendorong Ilma dan Bima yang sedang banjir air mata keluar, aku takut kakekku akan ikut menangis. Sementara Ddai.. ya.. dia yang paling mirip denganku, dan aku tahu bagaimana perasaannya. Gadis itu menatap kakek sendu kemudian tatapannya berubah menjadi tatapan kesal, meski hanya tersirat. Tanpa menoleh lagi pada kakek dia keluar dari ruangan itu, dari sudut matanya dia menatapku sejenak, lalu benar-benar pergi. Dia tak ingin menangis dihadapan kakek, sikapnya yang seakan tak peduli itu sebenarnya upaya untuk menahan diri, dia lebih senang dianggap tak peduli daripada orang lain melihat kelemahannya, seperti itulah dia, kembaranku yang selalu menutup diri itu.
Ddai menatapku dari sudut matanya sejenak sebelum ia pergi, dan aku hanya membisu menanggapinya, dia menyematkan harapan padaku, menyematkan keberanian yang tak bisa ia sampaikan pada kakek kepadaku, berharap aku bisa menyampaikannya, tapi... akupun tak memilikinya, aku tak bisa menyampaikannya...
 Kakek, bagi kami kau adalah pria hebat yang begitu mengagumkan.
Maksudku, harusnya kau tahu bagaimana aku dan Ddai menggambarkanmu sebagai sosok heroik yang tegas dan berwibawa dalam cerita-cerita yang kami buat.
Melalui punggungmu yang kekar dan legam, yang dulu kau pakai untuk memanggul air dan dan padi.. kami cucu-cucumu bisa meraih kehidupan yang layak ini...
Tak peduli dengan lelah, kau biarkan kami menaiki punggungmu, kau tak merelakan punggungmu begitu saja untuk botol air dan berkarung-karung padi, kau selalu menyempatkan waktu untuk membaginya pada kami...
Terkesan tidak adil, tapi kami berdualah..cucu pertamamu yang puas mendapatkan semua itu. Kasihmu, tenagamu, waktumu... meski seiring dengan usia kau sempatkan untuk melakukan hal yang sama untuk mereka, tetap saja...sepertinya emasmu sudah kau beriakan pada kami..
Kami selalu ingat, kala kau datang dengan sebotol uang receh yang kau kumpulkan dan berikan secara Cuma-Cuma untuk kami dua bocah belia yang kegirangan bergelantungan di leher dan punggungmu..
Kamilah yang puas menikmati ketangkasanmu saat bermain kejar-kejaran bersama kami.. kami menikmati semua itu darimu...secara Cuma-Cuma...
Kini bukan hanya rapuh, kau yang begitu lemah sedang diuji dengan kesakitan dan kepedihan.. tapi..dengarlah hei pak tua yang membawa sebotol uang receh, apapun yang terjadi kau tetap kakek kami yang luar biasa! Jangan menyerah dengan ujian ini! Kau pasti bisa, karena kau adalah kakek kami....!
                Itulah untaian makna yang aku dan Ddai ingin sampaikan padanya, tetapi keberanian menghilang, lidah terlipat, akhirnya kata-kata itu hanya terucap di dalam hati membiarkannya hilang tak terdengar oleh siapapun. Menggantinya dengan wajah sendu dan berpaling darinya dengan jutaan penyesalan yang juga tak terdengar olehnya, kakek kami. “aku... tidak bisa mengatakannya... aku terlalu pengecut...” sesalku di hadapan Ddai yang sedang menyembunyikan air matanya. “ tidak ada bedanya denganku,heh....” sindir gadis itu. Aku hanya tertawa mengiakan. “kata-kata kita.. takkan mengubah apapun... kita harus melakukan sesuatu untukknya...” ucap Ddai serius, aku terdiam sejenak lalu menjawab “ ......ya....”
Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar